Sunday, 20 March 2011
Renungan harian, 19 Maret 2011
Rm 4:13,16-18,22; Mat 1:16,18-21,24a atau Luk 2:41-51a
Renungan:
Saya tertarik dengan acara pada sebuah stasiun televisi, Take Me Out Indonesia. Program acara di televisi swasta Indonesia ini pernah mendapatkan rating yang lumayan tinggi. Di sana, begitu banyak orang berusaha mencari pasangan yang cocok sesuai kriterianya. Jika mereka berhasil menemukan pasangannya, mereka akan mendapatkan hadiah yang lebih jika mampu menjadi pasangan yang paling romantis. Tetapi, apakah pasangan ini akan saling mencintai dengan tulus hati?
Frasa tulus hati itu terdiri dari sembilan huruf, tetapi membutuhkan beribu-ribu huruf untuk membuktikannya. Santo Yusuf membuktikan dirinya sebagai seorang yang tulus hati. Ia tidak meninggalkan Maria, Ibu Yesus. Ia tidak menceraikan dan sangat menghargai nama baik. Pembuktikan ketulusan hati Santo Yusuf tak sekedar kata-kata tetapi dalam tindakan. Mat 1:19 mengatakan secara jelas bahwa suami Maria ini adalah contoh suami yang baik.
Tetapi, sekarang ketulusan hati seakan dijual dan dapat dibeli dengan uang. Berusaha untuk romantis dan ‘sok’ atau berlagak tulus demi uang. Akibatnya, orang selalu berusaha menjadi baik bukan demi dirinya sendiri tetapi demi sesuatu yang ingin diraih. Sekarang, beranikah saya berbuat seperti Santo Yusuf yang tulus hati, menghargai nama, dan setia? Beranikah saya berbuat demi kebahagiaan diri saya bukan demi pengakuan atas diri saya?
Doa:
Tuhan, ajarilah aku untuk tulus hati seperti Santo Yusuf. Bangunlah dalam diriku sikap menghargai nama dan setia agar dalam kehidupanku tercipta kebahagiaan. Sehingga aku mampu melakukan kehendak-Mu yang Kaubisikkan dalam kehidupanku.
Niat:
Aku tidak lagi memanggil sahabatku dengan nama ‘paraban’. Ketika berbuat bagi sesama, aku akan melakukannya dengan tulus dan tidak mengharapkan imbalan.
Thursday, 17 March 2011
Renungan harian, 15 Maret 2011
Renungan :
Suatu pagi aku main bola sama Poppy (anjing betina ras goden). Kulempar bolanya, Poppy mengejar dan mengembalikan bolanya. Biar tidak mudah ditangkap, bola kulempar ke tembok. Kalau aku lempar pelan ke tembok, bolanya kembalinya juga pelan. Kalau kulemparkeras ke tembok, bolanya juga cepat kembali. Jadinya si Poppy sulit dapat bola.
Pada bacaan injil hari ini Yesus mengajarkan supaya kita tidak bertele-tele dalam berdoa dan kemudian tidak berbuat apa-apa. Memang mudah berbicara tentang cinta, tetapi tidak mudah melakukannya. Yesus kemudian mengajarkan sebuah doa yang menjadi doa pusaka kita: doa Bapa Kami. Setiap kita berdoa Bapa Kami, sadar tidak sadar kita berdoa “ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami.” (Semoga kita ingat ada kata-kata seperti itu dalam doa Bapa Kami.)
Seperti bola tenis tadi. Bila kita tidak memaafkan orang yang bersalah pada kita dan malah menaruh dendam, hal serupa akan berbalik pada kita. Bila kita banyak memberi cinta dan mau memberi maaf pada yang bersalah pada kita, maka cinta itu tidak akan berkurang dari kita. Tapi justru akan diberikan berlimpah untuk kita. Memang mudah berbicara tentang cinta, tetapi tidak mudah melakukannya. Seperti kata seorang suster sepuh: “Surga itu tidak murah!”
Yesus yang Mahabaik dan Mahacinta, kami berdoa bagi orang-orang yang telah bersalah kepada kami. Semoga berkat cinta dan Roh-Mu, mereka Kausadarkan dan Kaulimpahi rahmat pengampunan. Agar dalam hidupnya mereka dapat berbagi cinta bagi sesama.
Renungan harian, 11 Maret 2011
Renungan
Dulu ketika aku masih duduk di bangku SMP, aku pernah berniat untuk berpuasa seperti yang dilakukan kakak dan orangtuaku. “Sehari makan kenyang satu kali”, begitulah aturan yang aku dengar. Aku pun menjalaninya meski sebenarnya memang belum saatnya bagiku yang masih berumur kurang dari 17 tahun. Oleh karena itu, malam hari menjelang hari puasa, aku pun makan sekenyang-kenyangnya. Alhasil, di pagi hari pun aku masih merasa kenyang. Di siang harilah tiba rasa laparku. Aku pun mulai membayangkan makanan-makanan apa yang sekiranya akan aku makan. Berbagai keinginan pun mewarnai hari itu. Ya, aku ingin makan sate, ingin makan bakmi, ayam bakar, ditambah soft drink biar tambah mantab.
Akhirnya, tibalah waktu untuk berbuka puasa bagiku. Aku pun jadi untuk membeli keinginan-keinginanku tadi. Kupuaskan segala keinginanku dan aku pun kenyang. Hari itu pun ternyata terasa lebih menyenangkan, karena ada makanan-makanan yang aku sukai dan juga enak semua.
Apakah perilaku seperti itu sesuai dengan puasa yang dikehendaki?
Ya, memang perilakuku itu nampak sesuai yang ditentukan: Makan kenyang satu kali. Namun ternyata hal itu tidak lebih dari formalitas belaka. Dalam diriku ternyata masih ada banyak keinginan-keinginan atau boleh dikata “nafsu”. Berpuasa menurutku bukan hanya soal yang kelihatan, yaitu makan kenyang satu kali, tetapi juga perlu dilihat yang tak kelihatan, yaitu segala pikiran dan perasaan. Segala kehendak atau keinginan patutlah juga untuk diperhatikan sebab puasa tidak dinilai dari yang nampak namun juga dari yang ada dalam benak kita. Rasanya sama saja ketika kita berpuasa ternyata kita tidak dapat menahan segala keinginan-keinginan kita, entah itu keinginan untuk makan yang berlebihan, juga segala keinginan untuk berbuat yang tidak baik. Mungkin orang lain tidak melihatnya, namun Tuhan senantiasa mengetahui apa yang ingin, sedang dan akan kita lakukan. Berpuasa adalah kesempatan bagi kita untuk menarik diri dari segala keinginan-keinginnan daging dan mengarahkan diri pada Tuhan.
Doa
Allah Bapa di Surga, Engkaulah yang memiliki diri kami, Engkau tahu segala yang ada dalam diri kami termasuk keinginan-keinginan kami. Jangan biarkan kami ya Tuhan, jatuh dalam godaan-godaan yang dapat melemahkan kami dalam mengikuti jejak-Mu. Tuntunlah kami untuk setia, dengan sepenuh hati melaksanakan segala kehendak-Mu. Sebab Engkaulah Tuhan yang senantiasa menjaga dan memelihara kami, sepanjang segala masa. Amin.
Aksi
Dalam masa pra paska ini aku ingin berpuasa atau pantang dengan sepenuh hati. Tidak hanya soal menahan makan namun juga menahan segala keinginan-keinginan diri yang tidak baik agar semakin dekat dengan Tuhan.
Wednesday, 16 March 2011
Renungan harian, 14 Maret 2011
Im 19: 1-2.11-18 ; Mat 25:31-46
Renungan:
“Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” inilah salah satu kata-kata yang dikatakan Yesus dalam injil hari ini. Sepertinya potongan ayat ini sudah menjadi suatu pesan yang jelas untuk dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Dari potongan ayat itu, kita sadar bahwa Tuhan sendiri hadir dalam diri orang-orang dianggap paling hina; mereka yang lapar, haus, tak memiliki apapun, tersisihkan oleh masyarakat.
Di masa prapaskah ini, kita mengenangkan masa-masa sengsara Tuhan Yesus Kristus. Melalui Injil hari ini, Tuhan secara jelas menawarkan pada kita bagaimana cara menghayati dan merasakan sendiri masa sengsara Tuhan Yesus sendiri. Bahwa ketika kita mampu hadir, merasakan dan membantu apa yang dialami orang-orang kecil, lemah, miskin dan tersingkir, saat itulah kita juga merasakan sengsara yang dialami Tuhan Yesus dan membantu meringankan beban yang harus Ia tanggung. Hanya orang yang memiliki kepekaan saja yang mampu merasakan dan mengulurkan tangan bagi saudara yang menderita. Sekedar merenungkan tidaklah cukup mambantu kita merasakan sengsara Tuhan kita. namun ketika kita mampu merasakan serta mengulurkan tangan bagi sesama kita, saat itulah kita mampu merasakan bahkan terlibat dalam penghayatan sengsara Tuhan kita. Karena apa yang kita lakukan bagi sesama, kiata lakukan pula bagi Tuhan. Dan pertanyaan yang bisa direnungkan adalah, sudah sejauh mana tekadku dalam menghayati masa sengsara Yesus ini ? Sudah sejauh mana aku hadir, merasakan dan membantu sesamaku ??
Doa:
Tuhan, Engkau senantiasa mencintaiku. Anugrahkanlah rasa cinta dalam diriku. dan ajarlah aku untuk mampu mencintai Engkau dan sesama serta dampingilah aku juga dalam usahaku untuk mampu membantu sesamaku. semoga dengan demikian, aku semakin mampu menghayati sengsara Putra-Mu yang merelakan hidupnya bagi kami.
Renungan harian, 9 Maret 2011
Kepada Tuhan kah semua ini ku tujukan?
Bacaan : Mat 6 : 1 – 6 ; 16 – 18
Dalam sehari tanpa saya sadari ada puluhan aktivitas yang telah saya lakukan, bahkan kadang saya lupa telah melakukan apa saja hari ini. Kegiatan – kegiatan yang saya lakukan pastilah dilatarbelakangi oleh tujuan dan daya gerak (motivasi) yang mendorong dan menjadi kekuatan bagi saya untuk melakukannya.
Demikian pula dalam kehidupan rohani saya, Injil kali ini mengajak saya untuk melihat lebih dalam apa motivasi saya dalam bersedekah, berdoa, dan berpuasa. Ada banyak kemungkinan untuk hal ini, seperti agar mendapat pujian, menunjukkan kesucian, pamer, kesombongan, dan lain sebagainya. Namun Injil kali ini menekankan sesuatu yang berbeda yaitu menjadikan Allah sendiri sebagai pangkal dari segalanya, bersedekah, berdoa, dan berpuasa sebagai tindakan personal dalam iman tanpa harus diketahui orang lain. Sedangkan dalam perwujudannya, cinta dan syukur saya pada kasih dan kemurahan Allah mendasari tindakan saya untuk berbagi dengan sesama yang kecil, lemah, miskin, tersingkir dan diffabel serta dalam relasi saya dengan Tuhan dalam doa dan mati raga.
Doa :
Ya Allah, semoga dari hari ke hari aku semakin dapat memurnikan niatku dalam menjalankan hidup rohaniku maupun kehidupanku pada umumnya. Menjadikan Engkau sendiri sebagai sumber, asal, dan tujuan hidupku. Semoga melalui cara hidupku namaMu semakin besar dan dimuliakan. Amin
Aksi :
• Menyisihkan sebagian hartaku untuk sesama.
• Mendoakan saudara yang sakit, kecil, lemah, miskin, tersingkir dan diffabel
• Bermati raga sebagai ungkapan bela rasa terhadap orang yang menderita
Saturday, 5 March 2011
Renungan harian, 24 Februari 2011
Dalam pikiran : aku akan menilai orang lain dengan positif.
Dalam perkataan : aku akan berusaha untuk berbicara jujur dan tidak berbicara kotor.
Dalam perbuatan : aku akan berusaha untuk tidak menunda pekerjaan.
Renungan harian, 23 Februari 2011
Renungan harian, 22 Februari 2011
Renungan harian, 21 Februari 2011
Renungan harian, 19 Februari 2011
Renungan harian, 18 Februari 2011
Wednesday, 16 February 2011
Novena I Maria Fatima
Renungan harian, 17 Februari 2011
Tuesday, 15 February 2011
Renungan harian, 16 Februari 2011
Renungan, 15 Februari 2011
MENDENGAR DAN MENGERTI
Bacaan:
Kej 6:5-8, 7:1-5; Mzm 29:1a,2,3ac-4,3b,9b-10
Mrk 8:14-21
Di depan kapel suster sedang merangkai bunga. Aku bilang, “Ini tadi bunganya mau dibuang lho…” Tanpa jeda suster langsung menyanggah, “Enggak ah!” Memang tadi siang rangkaian bunga itu mau dibuang karena sudah lama dan sudah ada yang baru. Karena eman-eman, aku usulkan biar dirangkai baru lagi sama suster karena masih banyak yang bagus, apa lagi suster sedang suka merangkai bunga. Aku coba sekali lagi menjelaskan. Dan akhirnya suster mengerti, dan aku pun lanjut ke sakristi.
Kadang untuk mengerti itu memang tidak mudah. Seperti yang diceritakan injil hari ini. Para murid khawatir karena mereka hanya punya sepotong roti di kapal. Yesus tahu itu, maka Ia berkata pada para murid: “Mengapa kamu memperbincangkan soal tidak ada roti? Belum jugakah kamu faham dan mengerti? Telah degilkah hatimu?” (Mrk 8:17b) Banyak hal luarbiasa telah dilakukan Yesus: orang sakit disembuhkan, yang mati hidup kembali, yang buta melihat, yang lumpuh berdiri, dan lima ribu orang lapar pun dikenyangkan hanya dengan dua ikan dan lima roti. Tetapi mereka juga belum bisa mengerti.
Untuk mengerti memang tidak mudah. Untuk mengerti, kita harus bisa dan mau mendengarkan, melilhat, dan menyadari pengalaman yang telah dialami. Ada makna apa atau maksud apa di balik itu semua? Sehingga, kita pun bisa melihat Allah yang bekerja dalam keterbatasan dan kekurangan kita lewat peristiwa-peristiwa keseharian kita yang sederhana dan kecil yang jarang kita sadari.
Yesus yang Mahamengerti, ajarilah kami supaya kami dengan rendah hati mau mendengarkan dan mengerti orang lain. Kami sering kali tidak mengerti dan tidak mau mengerti akan kasih-Mu yang Kau curahkan lewat orang-orang yang ada di sekitar kami. Bukalah mata, hati, dan telinga kami agar kami semakin peka dan peduli, terutama supaya kami mampu menyadari dan mengerti akan karya dan kasih-Mu dalam hidup kami. Amin
Saturday, 12 February 2011
Biography of Father Sandjaja DP
A name usually represents a meaning, it could be a hope or a memory. When the Spiritualism Orientation Year of the Archdiocesan of Semarang took the name of “Wisma Sanjaya”, it really did carrying a memorable meaning and hope. The name of Wisma Sanjaya was chosen in memory of the late Father Sandjaja, DP. He is a diocesan priest from the second generation of the Archdiocesan of Semarang. Father Sandjaja was especially known by the catholic community in Indonesia mostly by those in Java, as a martyr. A martyr is a catholic who is assassinated because of his/her devotion and faith to God. The name of Sandjaja are also very often being used by education institution or catholic foundation within the Archdiocesan of Semarang area. For example, the Foundation of Sanjaya, Sanjaya Junior High School etc. In order for the seminarians to get to know who Father Sandjaja is, the second part of this article narrate the life story of Father Sandjaja, DP.
HISTORY IN A GLANCE
At the very beginning it felt that there was a necessity for the diocesan priests candidates to be intensively prepared so that they have stable personalities, deep and solid spiritual lives and the right motivations. Therefore, Justinus Cardinal Darmojuwono DP, who at that time was the Bishop of Semarang, came up with an idea of the Spiritual Orientation Year. The seminarians would be required to take this program after they finish their study in the Minor Seminary before they proceed to Major Seminary.
During this year, the seminarians would be quiet period without any academic requirement load and also they would be brought deeper and deeper to God through work and spiritual activities such as “lectio, oratio, meditatio and contemplatio”. The experience and stability of faith to Christ is the most important thing in this program. Beside that main goal, English education is also taken into consideration as an important addition to enhance the future education.
This idea created pro and contra with all its argumentations, but at the end the Cardinal decided to proceed with the program.
STEP OF PREPARATION
After it was decided that the Spiritual Orientation Year immediately would be held, everything was prepared mostly regarding equipments and teachers.
First of all, a separated place from other education sites was needed so that it could be differed from the Seminary. At last, the Cardinal found a house at 2 Jangli Street, Semarang, that fulfills the requirements for the program. The house was bought by Archdiocesan of Semarang, the Society of Jesuit and “Gerakan Pancasila” as a place for lectures and meetings in order to develop the “Gerakan Pancasila”. But then the house was no longer in used for those purposes. For the time being, the place was functioned to give lessons for the catechist from the military. But, that particular lesson was also then dismissed. “This house is meant to be provided for Wisma Sanjaya”, Cardinal thought. With the consent of the Society of Jesuit and the “Gerakan Pancasila”, then it was endeavored to be completely owned by Archdiocesan of Semarang. This was not a simple matter because the owner of this house was a group of people, not a foundation. But, thank God, at last the house belongs to Archdiocesan of Semarang.
The preparation was then begun for the Spiritual Orientation Year. The original house is the main building that now is used for classed, library, language laboratory, dining room, entertainment room and guest rooms. The lower part is used as the convent and kitchen. First step was to expand the building. New rooms were built. Two rooms for the mentor priests and 26 rooms for the seminarians and for the guests. A praying room that is also a chapel was built, The corridor from the lower part of the seminarians' rooms to the dining room was built in the following few years.
One big event to remember is that for a few years this place had water shortage, it was due to the Drinking Water Company that went on and off. By the financial aid from Sr. Blandina OSF and Sr. Florista OSF, Wisma Sanjaya finally owns a well on the site with fresh, clean water to fulfill all the necessity of Wisma Sanjaya and the neighborhood. Before we had our own well, the seminarians had to commute carrying water from St. Elizabeth Hospital or the Archdiocesan of Semarang office.
Other event that should not be forgotten is the ceremonial of Mother Mary of Fatima Grotto opening that was held by the Cardinal also in December 8th, 1928. This grotto was built by community that was donated by someone from Kudus. Besides to devote the seminarians to Mother Mary, this grotto was also visited by the community who commit to the Novena of Mother Mary of Fatima that are held every 13th of each month starting February to October. The construction of the Mother Mary Grotto kept on progressing due to the kind charity funder who visit the sites regularly to find inspiration to decorate the grotto.
Other than the building, the mentors are prepared to take spiritual classes. At the same time Father Taruna Sayoga DP was officially became the staff mentor. The Spiritual Orientation Year is designed to have dual mentors so that one can be the alternative to the other. In fact, the two mentors are not only helpful to the seminarians but also helpful to the staff.
THE OPENING CEREMONY
After most of the preparation were finished and the house can be resided on June 1981, the first class of twenty seminarians entered Wisma Sanjaya. This is the new chapter of Diocesan education for the priest candidates in the Diocesan of Semarang.
It was planned, the opening ceremony would be held on 4th July 1981, as written on the stone plaque. But, that day was the day of the first fasting day for the Moslem's. Therefore, in order to respect them, the opening ceremony then was held one day before, 3rd July 1981. The following day, on the 4th July 1981, the Cardinal presented a mass at Wisma Sanjaya.
However, the 3rd of July 1981 was a historical day for the Cardinal. It was the day that he received a letter from Rome that give him permission to retire from being the bishop of the Archdiocesan of Semarang.
THE NEXT JOURNEY
After the ceremonial opening the Spiritual Orientation Year at Wisma Sanjaya started. The program for one year is a part of the St. Paul Major Seminary in Jogjakarta. The program is supported by the Sisters of Kongregasi Abdi Kristus. At first, the sister took turn to take care of the kitchen, then Sr. Philippa AK, was replaced by Sr. Antonia AK that worked side by side with Mrs. Sikep. On the 19th December 1995, Sr. Antonia AK received a new assignment in the community of Gedanganak, Ungaran. Sr. Francisca took her place to work to accompany Mrs. Sikep since December 1995. On September 2004, Sr. Borromea replaced Sr. Fransisca. Since then, the operational of Wisma Sanjaya has never had any problems.
The mentors of Wisma Sanjaya in sequence are:
- July 1983 : Father Siswata DP was replacing Father Taruna Sayoga DP who then assigned to work at Mertoyudan Seminary.
- January 1984 : Father Ign. Djonowarsono DP was replacing Father Siswanta DP who then assigned to work at Major Seminary in Jogjakarta.
- July 1990 : Father J. Pujasumarta DP, after prepared himself in the USA was replacing Father Natasusila DP who then became the Parish Priest in Pugeran, Jogjakarta
- September 1992 : Father Fl. Hartosubono DP was replacing Father Ign. Djonowarsono DP who then departed as the Rector of Major Seminary in Pematangsiantar, Sumatra.
- August 1995 : Father JCT Wismapranata DP was replacing Father Fl. Hartosubono DP who then pursuing education of spiritualism in Spokane, USA.
- August 1997: Fr. Fl. Hartosubono, after prepared himself in Spokane, USA was replacing Father J. Pujasumarta DP who then became the Rector of Major Seminary in Kentungan, Yogyakarta.
- August 1998: Father B. Bambang Sumintarto DP replace Father JCT . Wismaparanata DP.
- July 1999: Father R. Sugihartanto DP replace Father B. Bambang Sumintarto DP.
- August 2002: Father Albertus Priyambono DP was replacing Father R. Sugihartanto DP who then became the Parish Priest in Wonogiri.
- September 2003-Agust 2004: Father Sukandar DP live in Jangli.
- July 2004: Father M. Djoko Setya Prakosa DP and Fr. B. Irawan Heryuwono DP were replacing Father Al. Priyambono who then became the Parish Priest in Kebonarum, Klaten.
- December 2004: Father M. Djoko Setya Prakosa DP was replacing Fr. Fl. Hartosubono DP who then departed as the Rector of Major Seminary in Kentungan, Yogyakarta.
- July 2006: Father B. Edy Wiyanto DP was replacing Father B. Irawan Heryuwono DP who then became a local missionaries in Sorong.
- July 2008: Father C. Hadianta DP was replacing Father B. Edy Wiyanto who was later living in “Wisma Mahasiswa Semarang.
- June – July 2009: Fr. B. Irawan Heryuwono DP lived in Jangli for preparing his study of Spirituality in Philipines. March - July 2010: After studying, he lived in Jangli again until having a new assignment as a director in the Spiritual Year of Malang.
In addition to the staff is Mr. Purnama who taught English for the seminarians and Sr. Brigid OSF. In 1994-1995, Sr. Rufina OSF was replacing Sr. Brigid OSF to teach English because Sr. Brigid had to take some time off to return to the US. In 1995-2008 Sr. Brigid taught English. In 2007-2008 Mr. Suratno helped to Sr. Brigid OSF to teach English. January 2010, Sr. Susan Ninfa CM was replacing Sr. Brigid OSF because of her problem in health.
Thus, the Spiritual Orientation Year at Wisma Sanjaya proceeds from twenty seminarians at first and followed by the next class year after year. Certainly, the numbers were never the same each year, sometimes more than twenty, sometimes less then twenty. Starting on July 1991, there were seminarians who went straight to Wisma Sanjaya from College or University without going through the education in Mertoyudan Seminary (Minor Seminary).
RATIONALE
Etymologicalty "formation" means to lead, train, fashion, model, design, arrange, construct, make, create, put in order, give shape, to be a meaningful reality. When the concept is applied for a person, it means to direct, guide, and prepare him for a meaningful life. In other words, a formation program for the seminarians of the Spiritual Year is to help them to grow in all aspects of life and respond to God's invitation.
I realize that he has responsibility to nurture the seeds of vocation. The Second Vatican Council states clearly this responsibility:
"… students should be prepared by a special religious formation and, especially, by suitable spiritual direction, to follow Christ the Redeemer with generous souls and pure hearts. Their way of life should be fully in keeping with the standards of sound psychology and should include suitable experience of ordinary affairs of daily life, and contact with their own families". (Optatam Totius, No. 3)
Pastores Dabo Vobis affirms this statements:
'The Church look after these seeds of vocations sown in the hearts of children, … , providing a careful though preliminary discernment and accompaniment. In a number of part of the world, these Seminaries continue to carry out a valuable educational work, the aim of which is to protect and develop the seeds of a priestly vocation, so that the students may more easily recognize it and be in a better position to respond". (Pastores Dabo Vobis, No. 63)
As a formator, I also realize that the seminarians are the young persons who have high ideals, and dynamism. In the other side, they are in the problematic age who need accompanist in their process of growth and problem-solving. This matter was strengthened by Pope John Paul II. He said:
'The young people in every generation, are still searching. Like the young man in the Gospel, they are searching for answers to basic questions, not only for the meaning of life, but for a concrete way to go about living it. That is the most fundamental characteristics of our young. We must help to discover that life has meaning only when they give it as a free gift to others, that is their vocation to love".
(Pope John Paul II, Crossing the-Threshold of Hope, 1995. pg. 122).
It is important that the formator accompany the young person on his journey of life and vocation not only by accepting and encouraging him, but more specially by "walking with" him as a companion. The understanding of the importance of the task of priestly formation has opened my heart. Enriched by the personal and communal life in many years in Seminary, I wish to respond to the demanding and important need of formation for the Sanjaya Spiritual Year. I agrees that the formation and education of the young seminarians today determine the future of the Church. Therefore, seminary formation plays a vital role in building the Church. In Pastores Dabo Vobis, Pope John Paul II states:
"The formation of the future priest, both diocesan and religious, and life long assiduous care fore their personal sanctification in the ministry and for the constant updating of their pastoral commitment are considered by the church as one of the most demanding and important tasks for the future of evangelization of humanity"
(Pastores Dabo Vobis, No. 2)Driven by his commitment to formation, I wish to share his experiences through this program and plan. I expect that this program and plan will be a help in the process of education. It is to help the formation for the Sanjaya Spiritual Year. Thank you.