Sunday, 20 March 2011

Renungan harian, 19 Maret 2011

Bacaan: 2 Sam 7:4-5a,12-14a,16; Mzm 89:2-3,4-5,27,29;
Rm 4:13,16-18,22; Mat 1:16,18-21,24a atau Luk 2:41-51a

Renungan:
Saya tertarik dengan acara pada sebuah stasiun televisi, Take Me Out Indonesia. Program acara di televisi swasta Indonesia ini pernah mendapatkan rating yang lumayan tinggi. Di sana, begitu banyak orang berusaha mencari pasangan yang cocok sesuai kriterianya. Jika mereka berhasil menemukan pasangannya, mereka akan mendapatkan hadiah yang lebih jika mampu menjadi pasangan yang paling romantis. Tetapi, apakah pasangan ini akan saling mencintai dengan tulus hati?
Frasa tulus hati itu terdiri dari sembilan huruf, tetapi membutuhkan beribu-ribu huruf untuk membuktikannya. Santo Yusuf membuktikan dirinya sebagai seorang yang tulus hati. Ia tidak meninggalkan Maria, Ibu Yesus. Ia tidak menceraikan dan sangat menghargai nama baik. Pembuktikan ketulusan hati Santo Yusuf tak sekedar kata-kata tetapi dalam tindakan. Mat 1:19 mengatakan secara jelas bahwa suami Maria ini adalah contoh suami yang baik.
Tetapi, sekarang ketulusan hati seakan dijual dan dapat dibeli dengan uang. Berusaha untuk romantis dan ‘sok’ atau berlagak tulus demi uang. Akibatnya, orang selalu berusaha menjadi baik bukan demi dirinya sendiri tetapi demi sesuatu yang ingin diraih. Sekarang, beranikah saya berbuat seperti Santo Yusuf yang tulus hati, menghargai nama, dan setia? Beranikah saya berbuat demi kebahagiaan diri saya bukan demi pengakuan atas diri saya?

Doa:
Tuhan, ajarilah aku untuk tulus hati seperti Santo Yusuf. Bangunlah dalam diriku sikap menghargai nama dan setia agar dalam kehidupanku tercipta kebahagiaan. Sehingga aku mampu melakukan kehendak-Mu yang Kaubisikkan dalam kehidupanku.

Niat:
Aku tidak lagi memanggil sahabatku dengan nama ‘paraban’. Ketika berbuat bagi sesama, aku akan melakukannya dengan tulus dan tidak mengharapkan imbalan.

Thursday, 17 March 2011

Renungan harian, 15 Maret 2011

Bacaan : Matius 6:7-15
Renungan :
Suatu pagi aku main bola sama Poppy (anjing betina ras goden). Kulempar bolanya, Poppy mengejar dan mengembalikan bolanya. Biar tidak mudah ditangkap, bola kulempar ke tembok. Kalau aku lempar pelan ke tembok, bolanya kembalinya juga pelan. Kalau kulemparkeras ke tembok, bolanya juga cepat kembali. Jadinya si Poppy sulit dapat bola.
Pada bacaan injil hari ini Yesus mengajarkan supaya kita tidak bertele-tele dalam berdoa dan kemudian tidak berbuat apa-apa. Memang mudah berbicara tentang cinta, tetapi tidak mudah melakukannya. Yesus kemudian mengajarkan sebuah doa yang menjadi doa pusaka kita: doa Bapa Kami. Setiap kita berdoa Bapa Kami, sadar tidak sadar kita berdoa “ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami.” (Semoga kita ingat ada kata-kata seperti itu dalam doa Bapa Kami.)
Seperti bola tenis tadi. Bila kita tidak memaafkan orang yang bersalah pada kita dan malah menaruh dendam, hal serupa akan berbalik pada kita. Bila kita banyak memberi cinta dan mau memberi maaf pada yang bersalah pada kita, maka cinta itu tidak akan berkurang dari kita. Tapi justru akan diberikan berlimpah untuk kita. Memang mudah berbicara tentang cinta, tetapi tidak mudah melakukannya. Seperti kata seorang suster sepuh: “Surga itu tidak murah!”
Yesus yang Mahabaik dan Mahacinta, kami berdoa bagi orang-orang yang telah bersalah kepada kami. Semoga berkat cinta dan Roh-Mu, mereka Kausadarkan dan Kaulimpahi rahmat pengampunan. Agar dalam hidupnya mereka dapat berbagi cinta bagi sesama.

Renungan harian, 11 Maret 2011

Bacaan Injil Mat 9: 14-15
Renungan
Dulu ketika aku masih duduk di bangku SMP, aku pernah berniat untuk berpuasa seperti yang dilakukan kakak dan orangtuaku. “Sehari makan kenyang satu kali”, begitulah aturan yang aku dengar. Aku pun menjalaninya meski sebenarnya memang belum saatnya bagiku yang masih berumur kurang dari 17 tahun. Oleh karena itu, malam hari menjelang hari puasa, aku pun makan sekenyang-kenyangnya. Alhasil, di pagi hari pun aku masih merasa kenyang. Di siang harilah tiba rasa laparku. Aku pun mulai membayangkan makanan-makanan apa yang sekiranya akan aku makan. Berbagai keinginan pun mewarnai hari itu. Ya, aku ingin makan sate, ingin makan bakmi, ayam bakar, ditambah soft drink biar tambah mantab.
Akhirnya, tibalah waktu untuk berbuka puasa bagiku. Aku pun jadi untuk membeli keinginan-keinginanku tadi. Kupuaskan segala keinginanku dan aku pun kenyang. Hari itu pun ternyata terasa lebih menyenangkan, karena ada makanan-makanan yang aku sukai dan juga enak semua.
Apakah perilaku seperti itu sesuai dengan puasa yang dikehendaki?
Ya, memang perilakuku itu nampak sesuai yang ditentukan: Makan kenyang satu kali. Namun ternyata hal itu tidak lebih dari formalitas belaka. Dalam diriku ternyata masih ada banyak keinginan-keinginan atau boleh dikata “nafsu”. Berpuasa menurutku bukan hanya soal yang kelihatan, yaitu makan kenyang satu kali, tetapi juga perlu dilihat yang tak kelihatan, yaitu segala pikiran dan perasaan. Segala kehendak atau keinginan patutlah juga untuk diperhatikan sebab puasa tidak dinilai dari yang nampak namun juga dari yang ada dalam benak kita. Rasanya sama saja ketika kita berpuasa ternyata kita tidak dapat menahan segala keinginan-keinginan kita, entah itu keinginan untuk makan yang berlebihan, juga segala keinginan untuk berbuat yang tidak baik. Mungkin orang lain tidak melihatnya, namun Tuhan senantiasa mengetahui apa yang ingin, sedang dan akan kita lakukan. Berpuasa adalah kesempatan bagi kita untuk menarik diri dari segala keinginan-keinginnan daging dan mengarahkan diri pada Tuhan.

Doa
Allah Bapa di Surga, Engkaulah yang memiliki diri kami, Engkau tahu segala yang ada dalam diri kami termasuk keinginan-keinginan kami. Jangan biarkan kami ya Tuhan, jatuh dalam godaan-godaan yang dapat melemahkan kami dalam mengikuti jejak-Mu. Tuntunlah kami untuk setia, dengan sepenuh hati melaksanakan segala kehendak-Mu. Sebab Engkaulah Tuhan yang senantiasa menjaga dan memelihara kami, sepanjang segala masa. Amin.

Aksi
Dalam masa pra paska ini aku ingin berpuasa atau pantang dengan sepenuh hati. Tidak hanya soal menahan makan namun juga menahan segala keinginan-keinginan diri yang tidak baik agar semakin dekat dengan Tuhan.

Wednesday, 16 March 2011

Renungan harian, 14 Maret 2011

Bacaan :
Im 19: 1-2.11-18 ; Mat 25:31-46
Renungan:
“Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” inilah salah satu kata-kata yang dikatakan Yesus dalam injil hari ini. Sepertinya potongan ayat ini sudah menjadi suatu pesan yang jelas untuk dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Dari potongan ayat itu, kita sadar bahwa Tuhan sendiri hadir dalam diri orang-orang dianggap paling hina; mereka yang lapar, haus, tak memiliki apapun, tersisihkan oleh masyarakat.
Di masa prapaskah ini, kita mengenangkan masa-masa sengsara Tuhan Yesus Kristus. Melalui Injil hari ini, Tuhan secara jelas menawarkan pada kita bagaimana cara menghayati dan merasakan sendiri masa sengsara Tuhan Yesus sendiri. Bahwa ketika kita mampu hadir, merasakan dan membantu apa yang dialami orang-orang kecil, lemah, miskin dan tersingkir, saat itulah kita juga merasakan sengsara yang dialami Tuhan Yesus dan membantu meringankan beban yang harus Ia tanggung. Hanya orang yang memiliki kepekaan saja yang mampu merasakan dan mengulurkan tangan bagi saudara yang menderita. Sekedar merenungkan tidaklah cukup mambantu kita merasakan sengsara Tuhan kita. namun ketika kita mampu merasakan serta mengulurkan tangan bagi sesama kita, saat itulah kita mampu merasakan bahkan terlibat dalam penghayatan sengsara Tuhan kita. Karena apa yang kita lakukan bagi sesama, kiata lakukan pula bagi Tuhan. Dan pertanyaan yang bisa direnungkan adalah, sudah sejauh mana tekadku dalam menghayati masa sengsara Yesus ini ? Sudah sejauh mana aku hadir, merasakan dan membantu sesamaku ??
Doa:
Tuhan, Engkau senantiasa mencintaiku. Anugrahkanlah rasa cinta dalam diriku. dan ajarlah aku untuk mampu mencintai Engkau dan sesama serta dampingilah aku juga dalam usahaku untuk mampu membantu sesamaku. semoga dengan demikian, aku semakin mampu menghayati sengsara Putra-Mu yang merelakan hidupnya bagi kami.

Renungan harian, 9 Maret 2011

Pertanyaan Renungan :
Kepada Tuhan kah semua ini ku tujukan?

Bacaan : Mat 6 : 1 – 6 ; 16 – 18

Dalam sehari tanpa saya sadari ada puluhan aktivitas yang telah saya lakukan, bahkan kadang saya lupa telah melakukan apa saja hari ini. Kegiatan – kegiatan yang saya lakukan pastilah dilatarbelakangi oleh tujuan dan daya gerak (motivasi) yang mendorong dan menjadi kekuatan bagi saya untuk melakukannya.
Demikian pula dalam kehidupan rohani saya, Injil kali ini mengajak saya untuk melihat lebih dalam apa motivasi saya dalam bersedekah, berdoa, dan berpuasa. Ada banyak kemungkinan untuk hal ini, seperti agar mendapat pujian, menunjukkan kesucian, pamer, kesombongan, dan lain sebagainya. Namun Injil kali ini menekankan sesuatu yang berbeda yaitu menjadikan Allah sendiri sebagai pangkal dari segalanya, bersedekah, berdoa, dan berpuasa sebagai tindakan personal dalam iman tanpa harus diketahui orang lain. Sedangkan dalam perwujudannya, cinta dan syukur saya pada kasih dan kemurahan Allah mendasari tindakan saya untuk berbagi dengan sesama yang kecil, lemah, miskin, tersingkir dan diffabel serta dalam relasi saya dengan Tuhan dalam doa dan mati raga.

Doa :
Ya Allah, semoga dari hari ke hari aku semakin dapat memurnikan niatku dalam menjalankan hidup rohaniku maupun kehidupanku pada umumnya. Menjadikan Engkau sendiri sebagai sumber, asal, dan tujuan hidupku. Semoga melalui cara hidupku namaMu semakin besar dan dimuliakan. Amin

Aksi :
• Menyisihkan sebagian hartaku untuk sesama.
• Mendoakan saudara yang sakit, kecil, lemah, miskin, tersingkir dan diffabel
• Bermati raga sebagai ungkapan bela rasa terhadap orang yang menderita

Saturday, 5 March 2011

Renungan harian, 24 Februari 2011

BACAAN  Sir 5 : 1-8  ; Mrk 9 : 41-50

RENUNGAN
                   Toni, adalah seorang anak yang rajin ikut Ekaristi harian. Ia merasa damai dan tenteram saat ikut Ekaristi. Lalu muncul sebuah pertanyaan saat selesai Ekaristi, “Mengapa setiap hari ada doa tobat dan juga ada doa jangan perhitungkan dosa kami dalam Ekaristi?” Ia pun bertanya pada Ibunya. Ibunya menjawab, “Toni, setiap hari kita berbuat dosa, entah sadar atau tidak kita sadari. Baik dalam pikiran, perkataan, and perbuatan. Kita bisa berdosa pada Ibu, papa, teman, dan siapa saja.” Toni kecil pun terperanjat, “Wah, berarti dosaku banyak sekali ya Bu?” Ibu Toni pun menambahkan, “Benar itu, dosa kita amat banyak. Makanya kita minta Tuhan untuk mengampuni dan tidak memperhitungkan dosa kita. kita mohon supaya yang Tuhan hitung itu iman dan kebaikan kita saja. Bila Tuhan menghitung kesalahan kita, kita pasti celaka, sebab dosa kita terlalu banyak. Tetapi syukurlah Tuhan itu pengasih dan penyayang. Ia mau mengampuni dan menerima yang kembali padaNya asal kita mau meninggalkan kebiasaan dosa yang kita dilakukan.
                   Markus menggambarkan bagaimana Yesus tidak ambil kompromi terhadap dosa. Ia amat membenci apa yang namanya dosa, tetapi Ia tetap mencintai dan mengampuni orang yang berdosa. Lalu, apa yang kita lakukan? Memang grup band Hoobastank bicara, “I am not a perfect person”, Band Radja berkata, “Aku adalah manusia biasa…”, dan Yovie n’ Nuno berdendang, “Aku memang manusia biasa, yang tak sempurna dan punya salah…” tapi, dari situ kita tidak terus jatuh pada ketidak sempurnaan dan jatuh pada kelemahan untuk masuk ke dalam dosa terus. Kita harus bangkit dan melawan kecenderungan kita terhadap dosa. Berani dan mau lepas terhadap dosa butuh sebuah kerendahan hati. dengan rendah hati, kita dapat melihat mana yang baik dan mana yang buruk. Manusia memang sering tak berdaya, tapi bukan tanpa harapan. Manusia memang bukan sempurna, tapi penuh harapan. Dengan segala keterbatasan kita bila mau berusaha kita pasti dan akan bisa melawan dan membebaskan diri dari belenggu kebiasaan dosa.

AKSI
Dalam pikiran : aku akan menilai orang lain dengan positif.
Dalam perkataan : aku akan berusaha untuk berbicara jujur dan tidak berbicara kotor.
Dalam perbuatan : aku akan berusaha untuk tidak menunda pekerjaan.

DOA
Tuhan, aku mohon Engkau memberiku kerendahan hati agar aku dapat melihat lebih baik cacat dan kekuranganku. Terlebih, agar aku bisa melihat mana yang baik dan mana yang buruk, sehingga aku bisa berlaku sesuai dengan kehendak dan perintah-Mu.

Renungan harian, 23 Februari 2011

Mereka bukan lawan tapi kawan ?

Bacaan : Mrk 9 : 38 – 40

Renungan :
Harga diri, bagi kebanyakan orang, adalah kehormatan yang harus dijaga bahkan dengan taruhan nyawa sekalipun. Demikian juga yang dialami para murid Yesus. Mereka marah, ketika mendapati orang lain menggunakan kuasa dalam nama Yesus untuk menyembuhkan. Para murid merasa lebih berhak ketimbang orang – orang tersebut. Namun Yesus menanggapi hal ini secara berbeda. Bagi – Nya siapapun yang tidak melawan atau berseberangan, bukanlah musuh melainkan seorang kawan.
Relasi kita dengan sesama juga sering kali diwarnai hal – hal semacam ini, ketika kita merasa terancam dengan orang – orang yang berniat membantu kita. Perbedaan cara pendekatan, pemikiran, dan komunikasi sering kali memperparah keadaan ini. Perasaan diabaikan, tidak dianggap, atau dilangkahi menjadi lebih menonjol dibandingkan rasa terima kasih / syukur yang harusnya muncul karena telah pekerjaan kita menjadi lebih ringan dan cepat selesai.
Sikap rendah hati kiranya dapat membantu kita untuk menjadi terbuka dan peka terhadap niat baik sesama, sehingga rasa kecurigaan dan terancam dapat di minimalisasi. Kita diajak untuk menjadikan harga diri dan kerendahan hati sebagai sarana membangun relasi yang sehat dan saling menghormati satu sama lain.

Doa :
Ya Allah, ajarlah kami untuk menjadi rendah hati bagi sesama. Terbuka dan peka terhadap setiap niat baik sesama kami. Berani memberi ruang untuk terjalinnya kerjasama dan menyangkal diri kami sehingga kehadiran kami tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain untuk mewartakan kasih dan cinta – Mu.     

Aksi :
·         Terbuka dan peka terhadap niat baik sesama serta mengembangkan pemikiran positif.
·         Mengusahakan sikap rendah hati pada setiap orang yang kita jumpai.

Renungan harian, 22 Februari 2011

“Siapakah Yesus di dalam kehidupanku?”

Bacaan : 1Petrus 5:1-4
               Matius 16:13-20

Renungan:
“Siapakah Aku ini?”. Itulah pertanyaan yang diajukan Yesus kepada Petrus. Pertanyaan Yesus kepada para murid-Nya- bahkan secara personal terhadap Petrus- bukan sebuah pertanyaan biasa. Melalui pertanyaan itu, Yesus ingin mengetahui sejauh mana para murid mengenal diri-Nya. Pertanyaan yang ditujukan secara personal terhadap Petrus ini membutuhkan jawaban yang personal pula. Petrus pun menjawab pertanyaan tersebut secara mendalam. Petrus mengatakan bahwa Yesus adalah Mesias, Anak Allah yang hidup. Dan Yesus pun menegaskan bahwa pernyataan Petrus terhadap diri-Nya itu berasal dari Bapa. Jawaban dari Petrus ini pun ingin menunjukkan  hubungan para murid- terlebih Petrus- terhadap Yesus yang selama ini mereka ikuti. Mereka meyakini bahwa Yesus adalah penyelamat bagi mereka dan bangsanya.
Nah, sekarang Yesus pun bertanya kepada saya, “Siapakah diri-Ku bagi hidupmu?”. Yesus pun ingin pula mengetahui sejauh mana saya mengenal Yesus yang selama ini saya imani. Bagi saya, Yesus adalah gembala yang baik. Ia selalu ada baik suka maupun duka. Ketika aku lepas dari-Nya, Ia selalu berkenan mencariku dan tetap membawaku ke jalan yang benar. Dan Ia pun juga berkenan memilihku untuk menjadi calon gembala umat-Nya.

Doa:
            Tuhan Yesus Kristus ajarkanlah kami untuk mau terbuka akan diri-Mu dalam hidup kita sehari-hari, sehingga kami dapat lebih mengenal Engkau dan bisa merasakan kasih sayang-Mu. Amin

Aksi:
            Aku ingin membuka diriku untuk Yesus dan bisa menghadirkan pribadi Yesus dalam hidup sehari-hari.

Renungan harian, 21 Februari 2011

Bacaan : Sir 1: 1-10; Mzm 93: 1ab.1c-2-5; Mrk 9:14-29
Renungan:
Sudahkah Anda Berdoa Hari Ini?
                Kadang dalam hidup sehari-hari, kita sering hanya menggunakan kekuatan kita sendiri dalam mencapai tujuan atau ketika sedang menghadapi suatu masalah. Kita terlalu percaya pada diri kita sendiri, pada kekuatan yang kita miliki. Padahal, ada hal yang lebih penting yang perlu dilakukan terlebih dahulu. Yaitu doa. Kadang, saya terlena akan kemampuan saya, merasa sudah kuat dan mampu, lupa akan doa. Bagi saya, kekuatan doa memang berarti. Terutama ketika saya sedang menghadapi kesepian dalam menjalani kehidupan ini. Ketika saya menyerahkan segala permasalahan dan perasaan ke dalam doa, ada kekuatan yang mendorong saya untuk maju. Saya benar-benar merasa ditemani dalam menghadapi permasalahan itu. Kekuatan doa membuat saya merasa tidak lagi sendirian.
                Para murid bertanya kepada Tuhan Yesus : «Mengapa kami tidak dapat mengusir roh itu ?». Yesus hanya menjawab : «Jenis ini tidak dapat diusir kecuali dengan berdoa». Balajar dari pengalaman para murid, sayapun menjadi semakin sadar akan kekuatan sebuah doa.
                Ada seorang Ibu yang sejak menikah sampai dikaruniai dua orang anak, dibenci oleh keluarga sang suami. Bahkan mereka sampai melakukan apa saja untuk mengusir si Ibu. Mereka tidak ragu-ragu untuk membuat Ibu ini celaka. Tidak jarang saya temui, si ibu berdoa dengan khusuk di depan Gua Maria TOR kami ditemani kedua anaknya. Situasi seperti ini, tenyata mendorong si ibu untuk dapat terus berdoa dan semakin dekat dengan Tuhan Yesus demi mendapat kekuatan dan keselamatan dari bahaya yang selalu mengancam dirinya. Dan menurut penuturan Ibu itu, benar bahwa ia mendapatkan kekuatan dan keselamatan dari Tuhan.
                Seperti judul sebuah buku kumpulan doa  yang saya miliki “Doa Adalah Sumber Kekuatan”, begitupun dengan yang ingin saya katakan dalam perenungan singkat ini, bahwa doa adalah sumber kekuatan. Jadi, sudahkan anda berdoa hari ini ?

Doa :
Tuhan, hari ini aku ingin berdoa, ajari aku untuk semakin bertekun dan setia dalam doa, karena hanya dengan doalah aku dapat menemukan Engkau, sumber kekuatanku.

Aksi : Doakanlah orang-orang yang ada di sekitar Anda saat ini.  

Renungan harian, 19 Februari 2011

“Inilah anakku yang Kukasihi, dengarkanlah Dia.”

Bacaan: Ibr 11:1-7; Mzm 145:2-3,4-5,10-11
              Mrk 9:2-13

Renungan:
              Saya sempat terkagum-kagum ketika melihat dan mendengarkan sebuah kelompok koor melantunkan kidung dengan begitu megah. Akord yang mereka hasilkan mampu membius diri saya, masih lagi dengan permainan pengiringnya yang harmonis. Tidak ada suara yang dominan atau bahkan suara yang hilang tak terdengar. Kok bisa ya…?
            Jawaban itu ternyata ada di telinga setiap anggota koor dan pengiringnya. Mereka berusaha sebisa mungkin untuk mendengarkan suara yang lain. Tidak hanya hearing tapi listening. Dengan mendengarkan suara yang lain, mereka menghasilkan sebuah alunan kidung yang megah yang mampu membius hati. Megah itu tak sekedar keras, tetapi mampu memberikan warna di setiap birama sehingga harmonis.
              “…dengarkanlah Dia.” Bapa meminta kepada Petrus, Yohanes dan Yakobus untuk bersetia mendengarkan sabda-sabda Yesus. Ia mengajak kita untuk memberikan diri kita mendengarkan sabda-Nya. Dengan mendengarkan sabda-Nya, kita berharap agar kitapun mampu menaruh dan mendengarka sesama kita. Maka dari itu, terciptakan sebuah kehidupan yang harmonis dan membahagiakan, seperti sebuah kelompok koor mampu melantunkan kidung yang megah dan harmonis.

Doa:
        Yesus, Engkaulah yang menuntun hidupku. Bukalah telingaku agar aku mampu mendengarkan sesamaku. Bukalah telingaku agar aku mampu mendengar bisikan sabda-Mu. Amin.

Niat:
              Aku akan menggunakan telinga untuk mendengarkan sabda-Nya agar aku mampu mendengarkan sesamaku.

Renungan harian, 18 Februari 2011

Bacaan
Kej. 11:1-9; Mzm. 33:10-11, 12-13, 14-15; Mrk 8:34-9:1

Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya.(Mrk 8:36)

Renungan

Ketika membaca perikop injil ini, sebuah pertanyaan yang muncul dari hati saya ialah “Apa yang saya cari dalam hidup ini?” Berbicara mengenai kehidupan tentu takkan ada habisnya. Dunia selalu menawarkan banyak sekali model kenikmatan dan kesenangan kepadaku. Seringkali saya juga tergoda mencari kepuasaan dunia tersebut. Kekayaan, kedudukan, kehormatan menjadi sesuatu yang seringkali memperdaya saya. Akibatnya diri sendiri kurang terurus dan juga menjadi kurang komunikasi.
Saya memang takkan terlepas dari hal-hal duniawi karena saya masih hidup dalam dunia. Namun hal-hal duniawi tersebut tidak boleh menjadi perangkap dan menyesatkan. Kita boleh dekat dengan harta namun tidak boleh lekat. Dalam bacaan hari ini, Tuhan Yesus mengajak kita untuk selalu memanggul salib kita. Salib merupakan lambang dari kita umat kristiani. Dengan salib kita diharapkan dapat meneladan Yesus yang juga memanggul salibnya hingga akhir. Memanggul salib memanglah tidak ringan, Yesus sendiri juga sampai jatuh tiga kali untuk hal itu. Tapi ia mengajarkan kita untuk selalu bangkit di saat kita terjatuh. Hidup merupakan sebuah anugrah yang diberikan oleh Tuhan. Harta adalah sarana, bukan tujuan. Tujuan kita hidup ialah memuliakan dan mengabdi kepada Tuhan selama hidup ini.  Percuma kita mengumpulkan harta di dunia karena matipun harta itu juga takkan dibawa. Persembahan yang Tuhan inginkan bukanlah seluruh kekayaan, karena kekayaan tak ada artinya. Persembahan itu ialah seluruh diri, hati yang percaya dan iman yang tetap teguh padaNya meski dalam kesulitan. Saya juga belajar untuk selalu percaya bukan hanya saat bahagia, tapi juga saat dalam kesulitan. Dengan memanggul salib, di sinilah kepercayaan yang murni akan tampak. Emas kan semakin murni saat ia dibakar dan iman akan semakin murni jika selalu setia padaNya. Tujuan saya dan anda hidup ialah untuk selalu memuliakan Dia, maka jadikanlah hidup ini layaknya lukisan yang selalu memegahkan kebesaranNya.

Doa
Tuhan, dalam hidup terkadang aku hanya memikirkan yang duniawi saja. Saat gembira atau susah sering aku melupakanmu. Karena terlalu gembira aku menjadi lupa bersyukur dan berterima kasih. Saat aku mengalami kesusahan aku menjadi kurang percaya pada-Mu. Bapa aku mohon maaf atas semuanya itu. Aku mohon tuntunlah hatiku dan ajarkanlah aku untuk dapat rendah hati. Hadirlah dalam hatiku agar aku semakin mengimaniMu dan menjadi pribadi yang dapat bersyukur atas apa yang aku alami hari ini.

Wednesday, 16 February 2011

Novena I Maria Fatima

         Setiap tanggal 13, mulai dari bulan Februari sampai Oktober, kami komunitas Seminari TOR Sanjaya, Jangli, Semarang mengadakan Misa Novena Maria Fatima. Pada tanggal 13 Februari ini, kami mengadakan perayaan Ekaristi Novena yang pertama. Sungguh menjadi perayaan yang istimewa, karena perayaan Ekaristi dimpimpin oleh Bapa Kardinal Julius Darmaatmadja SJ. Sebelum perayaan Ekaristi dimulai, diadakan Doa Rosario dan Novena bersama. Kami mengambil tema untuk Novena yang Pertama ini adalah: Beriman Mendalam dan Tangguh. Dalam kotbahnya, beliau mengungkapkan: (berikut ini adalah homili yang disampaikan oleh bapa Kardinal)


MINGGU BIASA KE 6A
Pembukaan Novena I St. Maria Fatima

Hari ini kita membuka rangkaian Misa Novena Bunda Maria dari Fatima, tepat pada tahun ke 6 wafatnya Sr. Lucia, satu diantara 3 gembala yang mendapat pesan-pesan Bunda Maria di Fatima pada tahun 1917. Tahun ini juga merupakan tahun syukur atas 50 tahun berdirinya Hirarki Indonesia sejak tahun 1961. Hari penuh makna ini kita rayakan dalam Perayaan Ekaristi dengan tema: "Beriman mendalam dan tangguh". Semoga Bunda Maria, Ibu umat beriman mendampingi perjalanan, Gereja dan bangsa kita.
Siapakah kita, sebagai orang beriman? Kita adalah orang-orang yang sangat dicintai dan karena itu diberkati Allah. Diberkati Allah karena dimampukan untuk beriman kepada Allah Tritunggal yang Mahakudus. Dibuat mampu memahami bahwa Tuhan kita Yesus Kristus, Allah Putra yang menjadi putra Maria itu Penebus dosa kita. Itu semua dapat terjadi karena kuasa dan tuntunan Roh Kudus. Sebagai seorang beriman, kita adalah orang yang terberkati, sehingga kata-kata malaikat yang dulu dipakai   untuk menyapa Bunda Maria, juga dapat diulang bagi kita: "Terberkatilah Engkau karena Engkau dicintai Allah, ditebus dan Allah besertamu". Hidup orang beriman adalah bersama Allah, hidup bersama Yesus dan di dalam Dia, bersama Roh Kudus, dalam kemuliaan Allah Bapa.
Maka beriman mendalam berarti sangat bersyukur dan berterima kasih serta sangat mencintai Allah. Sampai "mbalung-sungsum" begitu. Karena sangat mencintai maka sangat setia mentaati kehendaknya, St. Paulus menulis: "Karena iman Abraham taat ketika ia dipanggil untuk berangkat ke negeri yang akan diterimanya menjadi milik pusakanya, ..." (Ibr 11;8), "Karena iman maka Abraham, tat kala dicobai, mempersembahkan Iskak, ..."(Ibr 11:17). Karena iman, Bunda Maria taat mendapat tawaran Allah menjadi ibu Penebus, dan mengatakan "Sesungguhnya Aku ini adalah hamba Tuhan;              jadilah padaku menurut perkataanmu itu" (Lk 1:38). Karena iman, suster Lucia yang kita kenang wafatnya 6 tahun yang lalu, taat menyampaikan pesan-pesan Bunda Maria.
Orang beriman menata hidupnya dengan penuh hormat dan taat, mempertanggung-jawabkan hidup dan perilakunya kepada Allah. Kita berbuat demikian karena kita sangat mengasihi Allah. Kita juga mentaati perintah Tuhan Yesus karena kita mengasihiNya, Ini sesuai dengan ajaranNya: "Jikalau kami mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintahKu," (Yoh 14:15), Tetapi kita juga tahu bahwa ajaran kasihNya menyamakan kasih kepada Allah dengan kasih kepada sesama. Bahkan St.Yohanes dalam suratnya yang pertama menempatkan kasih kepada sesama sebagai bukti bahwa memang mengasihi Tuhan. Beriman akhirnya harus dihidupi dengan mengasihi Allah dan sesama, yang harus tampak dalam perilaku dan perbuatan kita. Demikian tadi beberapa pokok kebenaran yang membangun iman kita. Beriman yang mendalam memiliki wawasan yang jelas dan kuat tentang pokok-pokok iman.
Dengan beriman tumbuh hubungan kasih yang makin hari dapat makin erat. Hubungan ini dalam saat hening dalam doa atau retret, sering muncul sebagai pengalaman iman yang dalam yang sulit diterangkan, tetapi perasaan mantab, gembira dan bersemangat dapat kita rasakan. Pengalaman        mengaku dosa yang sungguh-sungguh disiapkan dan dengan penyesalan dan pentobatan yang mantab, atau setelah menerima komuni atau pada saat adorasi, kita dapat mengalami sesuatu yang indah, luar biasa terkait dengan hubungan kasih kita dengan Allah Bapa, dengan Tuhan Yesus Kristus atau Roh Kudus. Pengalaman macam ini meneguhkan iman dan niat-niat baik kita sehingga perbuatan baik kepada sesama yang sering sulit pun dapat dilaksanakan dengan baik. Pengalaman hubungan mendalam dengan Allah jadi kekuatan untuk terlibat di dalam masyarakat.
Kalau demikian tadi jati diri orang beriman, lalu apa artinya harapan agar kita beriman yang mendalam dan tanguh? Iman yang mendalam dan tangguh akan tampak, akan keliahatan. Pertama terpancar dari wajah, sikap dan perilakunya. Terpancar waktu berdoa, terungkap dalam sharing iman, dalam cara bernyanyi, beribadah maupun dalam Ekaristi. Tampak bagaimana la ingin agar istri dan anak-anak rajin ke Gereja terilbat penuh dalam berdoa dan bernyanyi. Kalau yang imannya mendalam itu anak – anaknya, tampak mereka memprihatinkan ayah atau ibunya yang kebetulan sedang malas. Di sisi lain kasih kepada Allah ini juga mendorong orang beriman untuk mengasihi sesama secara kongkrit dalam keluarga dan lingkungan hidup mereka yang dekat. Dengan tetangga, kenalan dan teman sekerja, teman kuliah atau teman  sekolah. Kasih yang sejati tentu menanggapi keadaan yang kongkrit, sesuai dengan apa yang sedang dibutuhkan. Yang sedang lapar diberi nasi, atau ubi, bukannya air, atau pakaian bekas. Kehadiran Anda demikian tadi di tengah masyarakat membuat kehadiran Gereja diterima baik, disyukuri dan mempunyai arti dalam bersama menyejahterakan kehidupan yang bermoral dan beradab berdasarkan kasih persaudaraan. Kesitulah kalau kita membangun diri sesuai ARDAS KAS  2011-2015  yang baru. Mari kita bangun iman yang mendalam, tangguh dan aktif terlibat mengusahakan kesejahteraan umum. "Umat yang berkembang akan memberdayakan kaum lemah, kecil, miskin dan difabel" (bdk. SG) dengan tetap melestarikan lingkungan hidup. Amin.

Renungan harian, 17 Februari 2011

“…engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah,
melainkan apa yang dipikirkan manusia.”
(Mat. 8:33b)
Bacaan :
Kej. 9:1-13; Mzm. 102:16-18,19-21,29,22-23; Mrk. 8:27-33

Renungan:
Sebelum di seminari, saya gemar menonton TV. Kadang kala saya juga sempat menonton sinetron. Dalam sinetron-sinetron yang saya tonton, kadang kala ada adegan pengusiran. Sambil memelototkan mata, satu tangan berkacak pinggang dan yang satunya mengacungkan jari, orang yang mengusir berteriak,” Pergi…! Pergi…! Tak sudi aku melihat wajahmu lagi!”
Hari ini, kita bisa melihat lagi adegan itu. Tidak main-main, Yesus sendiri yang melakukan pengusiran itu. Sambil memandang murid-murid-Nya (bisa jadi memelototi) Ia memarahi Petrus, kata-Nya, ” Enyahlah, Iblis !” (ay.33). Perbuatan itu dilakukan Yesus karena Petrus—yang ‘hanya’ seorang murid—berani menarik Yesus dan menegor-Nya.
Apa yang membuat Petrus berani menegor gurunya? Kita tidak tahu. Namun bisa jadi terkait dengan adegan sebelumnya, yaitu ketika Yesus menanyakan dua pertanyaan : ‘Siapakah Aku ini menurut orang?’ dan ‘Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?’ (bdk. ay.27-30). Pertanyaan ini dilemparkan Yesus karena nampaknya isu yang beredar tentang siapa Yesus masih simpang siur. Khalayak beranggapan bahwa Yesus adalah Yohanes Pembaptis, Elia atau salah seorang dari para nabi. Bahkan, ada yang menganggap bahwa Yesus adalah orang yang tidak waras (bdk. Mrk. 3:21).
Dalam injil Markus, simpang siur memuncak dengan kisah Pengakuan Petrus ini. Petrus secara tepat mengungkapkan bahwa Yesus adalah Mesias. Namun ternyata mesias-nya Petrus tidak sama dengan ke-mesias-an yang mau ditunjukkan oleh Yesus. Pada waktu itu, konsep Mesias masih bersifat duniawi. Artinya, mesias hadir untuk menyelamatkan bangsa Israel dari penjajahan romawi; mesias adalah pemimpin politik. Tapi yang diwartakan Yesus berbeda. Mesias yang diwartakan Yesus harus menderita, ditolak dan dibunuh (ay.31). Yesus harus mengalami kepahitan-kepahitan hidup.
Nampaknya, para murid—yang diwakili oleh Petrus—tidak bisa menerima bahwa Mesias harus menderita. Padahal untuk menyelamatkan manusia dari dosa, Mesias yang mewujud dalam diri Yesus Kristus memang harus wafat dan bangkit pada hari ketiga. Para murid belum tahu bahwa keselamatan yang diwartakan Yesus bersifat kekal abadi.
Kadang kala kita seperti itu. Kita tidak mau menerima kepahitan-kepahitan hidup. Padahal, bisa jadi kepahitan memang harus dicecap terlebih dahulu agar kita bisa menikmati nikmatnya manis. Kita mesti yakin bahwa sehabis air bah surut, pelangi akan ditaruh-Nya di awan, supaya menjadi tanda perjanjian antara Allah dan bumi. Sebab Tuhan memandang dari surga ke bumi.

Doa:
Ya, Tuhan berikanlah bagi kami kekuatan agar kami sehati sepikir dengan-Mu. Dan dengan rendah hati mau melihat penyelenggaraan-Mu. Amin.

Tuesday, 15 February 2011

Renungan harian, 16 Februari 2011

Bacaan
Kej 8 : 6-13.20-22 ; Mrk 8 : 22-26
Pertanyaan Refleksi !
· Apakah kita sudah mensyukuri rahmat kasih karunia Allah ?
· Mengapa kita menjadi buta terhadap Tuhan, diri sendiri dan sesama ?
Mata merupakan salah satu bagian dari tubuh kita yang penting. “Bagaimana kalau mata kita menjadi buta?” Ya tidak bisa melihat. Dalam perjalanan hidup ini seringkali saya menjumpai saudara-saudari saya yang mengalami kebutaan, di depan mall. Mereka mampu berjuang sendiri untuk melangsungkan kehidupan, dan tentunya tidak pernah luput dari cinta kasih dan berkat yang Tuhan berikan. Terkadang kebutaan ini pun menjadi penghalang bagi kehidupan mereka yang penuh dengan keterbatasan. Penderitaan dan keterbatasan inilah yang seharusnya menjadi sorotan mata saya untuk memperhatikan mereka, bukan untuk dilewatkan.
Lewat perjumpaan itu bisa saya maknai apa? Rupanya saya diajak untuk menyadari diri saya, meskipun mata saya masih dapat digunakan untuk melihat, tapi sebenarnya saya juga mengalami kebutaan pada mata dan hati saya. Saya sering dibutakan oleh kesenangan-kesenangan yang sifatnya hanya sesaat, nafsu duniawi, kesombongan, keserakahan, iri hati, kemalasan, kemarahan, dan kecemburuan yang sering kali muncul tanpa tersadarkan oleh diri saya. Apakah saya pernah bercermin akan semua yang telah saya lakukan? Apakah pernah saya menyadari bahwa semuanya itu semakin membawa saya dalam jurang dosa? Semuanya ini pun membawa saya pada sebuah keterbatasan yang menjadikan diri saya tidak bisa berkembang.
Dalam Injil yang dikutip dalam kitab Markus 8:22-26 mengenai Yesus yang menyembuhkan seseorang yang menderita kebutaan di Betsaida. Marilah bersama-sama kita menyadari akan dosa-dosa kita, yang seringkali membuat diri kita menjadi buta untuk mengenal, mensyukuri rahmat Allah, dan berbagai kepada sesama. Kita datang kepada-Nya, dengan membawa segenap mata dan hati kita, memohon akan belaskasihan-Nya dan kemurahan hati-Nya supaya Yesus menyembuhkan mata kita dari kebutaan, sehingga mata dan hati kita pun dapat terbuka dan melihat seperti Nabi Nuh yang membuka pintu bahteranya dan melihat serta menyaksikan Bumi baru dan Langit yang baru, dan kita pun dapat terlepas dari belenggu dosa serta keterbatasan-keterbatasan yang telah membuat kita menjadi tidak berkembang.
DOA
“Allah Bapa sumber segala kasih, kami menyadari bahwa kami sangatlah lemah, rapuh dan penuh akan dosa. Kami lebih mengutamakan diri kami akan nafsu jahat, kesombongan, keserakahan, iri hati, kemalasan, kemarahan, dan kecemburuan yang justru membuat kami menjadi buta akan hidup dan membawa kami semakin jatuh ke dalam lubang dosa. Kami mohon bukalah mata dan hati kami, supaya kami dapat senantiasa mensyukuri rahmat yang Engkau berikan dan kami pun semakin peduli akan rahmat kehidupan pada diri kami sendiri dan orang-orang di sekitar kami. Kami mohon semuanya ini kepada-Mu, sebab Engkaulah pengantara kami kini dan sepanjang segala masa.”

Renungan, 15 Februari 2011

MENDENGAR DAN MENGERTI

Bacaan:

Kej 6:5-8, 7:1-5; Mzm 29:1a,2,3ac-4,3b,9b-10

Mrk 8:14-21

Di depan kapel suster sedang merangkai bunga. Aku bilang, “Ini tadi bunganya mau dibuang lho…” Tanpa jeda suster langsung menyanggah, “Enggak ah!” Memang tadi siang rangkaian bunga itu mau dibuang karena sudah lama dan sudah ada yang baru. Karena eman-eman, aku usulkan biar dirangkai baru lagi sama suster karena masih banyak yang bagus, apa lagi suster sedang suka merangkai bunga. Aku coba sekali lagi menjelaskan. Dan akhirnya suster mengerti, dan aku pun lanjut ke sakristi.

Kadang untuk mengerti itu memang tidak mudah. Seperti yang diceritakan injil hari ini. Para murid khawatir karena mereka hanya punya sepotong roti di kapal. Yesus tahu itu, maka Ia berkata pada para murid: “Mengapa kamu memperbincangkan soal tidak ada roti? Belum jugakah kamu faham dan mengerti? Telah degilkah hatimu?” (Mrk 8:17b) Banyak hal luarbiasa telah dilakukan Yesus: orang sakit disembuhkan, yang mati hidup kembali, yang buta melihat, yang lumpuh berdiri, dan lima ribu orang lapar pun dikenyangkan hanya dengan dua ikan dan lima roti. Tetapi mereka juga belum bisa mengerti.

Untuk mengerti memang tidak mudah. Untuk mengerti, kita harus bisa dan mau mendengarkan, melilhat, dan menyadari pengalaman yang telah dialami. Ada makna apa atau maksud apa di balik itu semua? Sehingga, kita pun bisa melihat Allah yang bekerja dalam keterbatasan dan kekurangan kita lewat peristiwa-peristiwa keseharian kita yang sederhana dan kecil yang jarang kita sadari.

Yesus yang Mahamengerti, ajarilah kami supaya kami dengan rendah hati mau mendengarkan dan mengerti orang lain. Kami sering kali tidak mengerti dan tidak mau mengerti akan kasih-Mu yang Kau curahkan lewat orang-orang yang ada di sekitar kami. Bukalah mata, hati, dan telinga kami agar kami semakin peka dan peduli, terutama supaya kami mampu menyadari dan mengerti akan karya dan kasih-Mu dalam hidup kami. Amin

novena i





Novena I





Saturday, 12 February 2011

Biography of Father Sandjaja DP

BIOGRAPHY OF FATHER SANDJAJA DP WHO IS FATHER SANDJAJA DP?

A name usually represents a meaning, it could be a hope or a memory. When the Spiritualism Orientation Year of the Archdiocesan of Semarang took the name of “Wisma Sanjaya”, it really did carrying a memorable meaning and hope. The name of Wisma Sanjaya was chosen in memory of the late Father Sandjaja, DP. He is a diocesan priest from the second generation of the Archdiocesan of Semarang. Father Sandjaja was especially known by the catholic community in Indonesia mostly by those in Java, as a martyr. A martyr is a catholic who is assassinated because of his/her devotion and faith to God. The name of Sandjaja are also very often being used by education institution or catholic foundation within the Archdiocesan of Semarang area. For example, the Foundation of Sanjaya, Sanjaya Junior High School etc. In order for the seminarians to get to know who Father Sandjaja is, the second part of this article narrate the life story of Father Sandjaja, DP.
BIRTHPLACE AND THE FAMILY OF FR. SANDJAJA, DP Father Sandjaja, DP was born in a village called Sedan, Muntilan on 20th May 1914. Sedan village is located 2 km to the north of the priests' resident complex in Muntilan. His childhood name is Richardus Kardis. Mr. Willem Kromo Sendjaja is the father of Father Sandjaja DP and his mother's name is Richarda Kasiyah. Father Sandjaja, DP is the oldest child in the family. Their second child is named Yohanes Redjo Pawito Sendjaja, their third is Caesilia Marselin and their youngest child is Catharina Birinah. Caesilia Marselin went to the Sister of Franciscanes abbey right after she graduated from SGA. Her name then changed to Sister Monica. She passed away later on in an accident.
THE JOURNEY OF THE VOCATION
Since childhood, the outstanding intellectual of Father Sandjaja had already been known. He often won competition and given nickname “the little walking dictionary”. His outstanding intellectual was also balanced with his faithful, diligent and humble life style. Therefore it did not take him too long to realize God's vocation to work in His vineyard, as a priest. After graduated form HIS and MULO, the young Sandjaja was admitted to the Minor Seminary in 1933 which at that time was located in Jogjakarta (now it has been used for the High Institution of Catholic Philosophy, near Code River). On 1937, Richardus Kardis entered the Major Seminary. It was simply because he wanted to be a diocesan priest. He had four classmates and it was a very special thing when he entered the seminary since he was the very first diocesan priest from Central Java. At that time, even the name of “diocesan” had not existed just yet. It was Jagardan priest or Wereld priest (Dutch) which means priest who does not live in the convent but they live among regular community. Without any significant difficulties in preparing his ordination, on 13th January 1943, Father Sandjaja was ordinated as a priest in Muntilan. Bishop A. Soegijapranata SJ was presenting the ordination.
A DIOCESAN PRIEST WHO HAD ALWAYS BEEN READY TO FULFILL THE DIOCESAN NEED
After being ordinated, Father Sandjaja was surprised of the necessity for a priest in Muntilan, his own hometown. So, he was promoted to be the Parish Priest in Muntilan. Usually, a new-ordinated priest must learn first as an assistant priest and usually they would not be located in their own hometown. But it was the war era, in Central Java and all over Indonesia were very short of priests. It turned out Father Sandjaja did not disappoint anyone as a Pastoral Priest. During the was, everything was a mess and to coordinate the Diocesan staff could not very well done. So was the Major Seminary, which at that time was located at the Sindunegaran (to the north of Tugu Station, Jogjakarta) needed a lecturer for Church History subject. Therefore, Father Sandjaja besides being a Parish Priest, he also taught at the Seminary. Father Sandjaja did a wonderful job as a lecturer. Then the next assignment followed, he then assigned to teach Moral subject which he unsurprisingly did very well. He did not stop there, besides being the Parish Priest of Muntilan and a lecturer at the Major Seminary of Jogjakarta, Father Sandjaja was also trusted to work for the Pastoral of Magelang. It was due to the assassination of the residents of Magelang Pastoral on 1st March 1945. Five Dutch priests, one Dutch seminarian, one native seminarian and one native bruder. On 21st July 1948, the Minor Seminary of Ganjuran, Jogjakarta moved to Muntilan, residing in a house owned by the FIC brothers. At this institution, a prefecture mentor and lecturer was needed to teach a few subjects and Father Sandjaja was given the assignment and he then was released from his responsibility as the Head of Parish Priest in Muntilan. In Minor Seminary, Father Sandjaja became the prefecture and taught Bible Study, History and Geography. Father Sandjaja was very up to it.
DEVOTED UNTILL THE END
We certainly question why the Major Seminary and Minor Seminary kept on moving from one place to another and did not have permanent lecturers. It was all because of the political situation that was unstable and raged. On December 1946, the political situation was even more raging due to the Dutch government that had not admitted the independence of Indonesia that was proclaimed on 17th August 1945. It was even worse that the Dutch government was trying to keep on colonizing Indonesia. It created hatred to the Dutch and everything that was related to the Dutch. Therefore, the missionaries from the Netherlands were suspected also, even though there was no reason to do so since the church is universal. Besides the Dutch government themselves was sympathize against the catholic missionaries that were considered competing with the Zending, their own evangelism. The appearance of the missionaries in Muntilan and the return of the Minor Seminary to Muntilan also causing and recreating unpleasant feeling from those who were anti-Catholic. Under these circumstances, everyone felt that there was a big gap between certain people and the Catholics. This situation led to the end of the lives of Father Sandjaja and a Jesuit Seminarian named Bouwens. Sunday, 19th December 1948, the Dutch army were attacking Jogjakarta from Semarang. This attack was called the second “clash”. On 20th December 1948, the government's buildings were burned so that they would not be resided by the Dutch. In the very tensed situation on that day, around eight o'clock in the evening, a few persons invited the priests to meet. They invited the priests to discuss the safety of the missionary buildings and personnels. The Dean Priest of the seminary at that time was Father Van der Putten, Jesuit. He had a suspicion when seminarian Bouwens said that the meeting would be held in a place he knew well. The Dean Priest did not want to leave the seminarians because he was the one who responsible for their safety. Father Sandjaja decided to stand for the Dean Priest to attend the meeting. They were not satisfied and insisted that all the Dutch priests to attend the meeting. Seminarian Herman Bouwens went along with Father Sandjaja, representing the Dutch priests and so did bruder Kismadi. Father Sandjaja and seminarian Bouwens wore their robes while bruder Kismadi wore his regular clothes. It turned out that they were not brought into that place but they were brought to walk on a curvey path. They finally arrived in an unknown place. Then they told bruder Kismadi to go home. Right after he left, guarded by two personnels, two gunshots were heard. Those two gunshots took away the lives of Father Sandjaja and Seminarian Bouwens. They passed away and returned to their beloved God. In the seminary, the situation became very tensed amd fidgety. The next morning, the seminarians had to flee. That morning, Father Sandjaja and Seminarian Bouwens had not returned to the seminary. Mr. Willem, the father of Father Sandjaja was informed by his friend that last night there was a priest that was shot to death in Kembaran Village. Mr. Willem and three friends went to search around the farm behind the village. They found a pile of soil mixed with mud and there was a heel of white skin human showing out. After they dug the pile, the death naked body of Seminarian Bouwens was found. They continued to search and not too far from there, there was a small ditch underneath garbage and wet grass. Mr. Willem saw a left toe of a human and there was the dead body of his son, Father Sandjaja. Father Sandjaja's body was full of jab from a hot article and almost his whole body was full of bruises from beaten. There was a hole on his forehead and bullet trace on the nape of his neck. Seminarian Bouwens was also cruelly abused. His nose was plugged with a sharp wood, his face was full of blood and bruises. Both corpses were buried in the nearby graveyard in Kembaran Village. Then, on 5th August 1950, both corpses were moved from Kembaran Village graveyard to Catholic graveyard in Muntilan that is located in bruderan.
THE CATHOLICS PILGRIM TO THE CEMETERY AND PRAY TO GOD THROUGH FATHER SANDJAJA DP
When we ask the people who know Father Sandjaja and spend the last moments before he passed away, “Why was he killed ?”, then most of them will spontaneously answered, “because of faith motivation”. Because of the incident, the catholic people acknowledge Father Sandjaja as a martyr. The Catholic church at the High Diocesan of Semarang also put effort to find a way to obtain Rome's acknowledgment, but there are certain rules that sustained the process. Nonetheless, the Catholic in Indonesia already admitted that Father Sandjaja is a holy individual. There are a lot of Catholic people pray to God through Father Sandjaja and visit the cemetery. Lots of them felt that their prayers have been granted through the blessing of Father Sandjaja. His left belongings is considered to be reliquary. In the chapel of Wisma Sanjaya, there is a reliquary of Father Sandjaja which is a piece of cloth from his robe. It is an ordinary thing that the seminarians of Wisma Sanjaya take a pilgrimage to the cemetery to propose blessings so that the seminarians will be able to follow his footsteps, who is an older generation of ordination who live peacefully in heaven. Being humble, diligent and faithfully devoted to God and vocation are the important things to follow for the seminarians, priests and every catholic people. Let us hope.

HISTORY IN A GLANCE

IDEAS THAT APPEARED IN THE EARLY 1980
At the very beginning it felt that there was a necessity for the diocesan priests candidates to be intensively prepared so that they have stable personalities, deep and solid spiritual lives and the right motivations. Therefore, Justinus Cardinal Darmojuwono DP, who at that time was the Bishop of Semarang, came up with an idea of the Spiritual Orientation Year. The seminarians would be required to take this program after they finish their study in the Minor Seminary before they proceed to Major Seminary.
During this year, the seminarians would be quiet period without any academic requirement load and also they would be brought deeper and deeper to God through work and spiritual activities such as “lectio, oratio, meditatio and contemplatio”. The experience and stability of faith to Christ is the most important thing in this program. Beside that main goal, English education is also taken into consideration as an important addition to enhance the future education.
This idea created pro and contra with all its argumentations, but at the end the Cardinal decided to proceed with the program.

STEP OF PREPARATION
After it was decided that the Spiritual Orientation Year immediately would be held, everything was prepared mostly regarding equipments and teachers.
First of all, a separated place from other education sites was needed so that it could be differed from the Seminary. At last, the Cardinal found a house at 2 Jangli Street, Semarang, that fulfills the requirements for the program. The house was bought by Archdiocesan of Semarang, the Society of Jesuit and “Gerakan Pancasila” as a place for lectures and meetings in order to develop the “Gerakan Pancasila”. But then the house was no longer in used for those purposes. For the time being, the place was functioned to give lessons for the catechist from the military. But, that particular lesson was also then dismissed. “This house is meant to be provided for Wisma Sanjaya”, Cardinal thought. With the consent of the Society of Jesuit and the “Gerakan Pancasila”, then it was endeavored to be completely owned by Archdiocesan of Semarang. This was not a simple matter because the owner of this house was a group of people, not a foundation. But, thank God, at last the house belongs to Archdiocesan of Semarang.
The preparation was then begun for the Spiritual Orientation Year. The original house is the main building that now is used for classed, library, language laboratory, dining room, entertainment room and guest rooms. The lower part is used as the convent and kitchen. First step was to expand the building. New rooms were built. Two rooms for the mentor priests and 26 rooms for the seminarians and for the guests. A praying room that is also a chapel was built, The corridor from the lower part of the seminarians' rooms to the dining room was built in the following few years.
One big event to remember is that for a few years this place had water shortage, it was due to the Drinking Water Company that went on and off. By the financial aid from Sr. Blandina OSF and Sr. Florista OSF, Wisma Sanjaya finally owns a well on the site with fresh, clean water to fulfill all the necessity of Wisma Sanjaya and the neighborhood. Before we had our own well, the seminarians had to commute carrying water from St. Elizabeth Hospital or the Archdiocesan of Semarang office.
Other event that should not be forgotten is the ceremonial of Mother Mary of Fatima Grotto opening that was held by the Cardinal also in December 8th, 1928. This grotto was built by community that was donated by someone from Kudus. Besides to devote the seminarians to Mother Mary, this grotto was also visited by the community who commit to the Novena of Mother Mary of Fatima that are held every 13th of each month starting February to October. The construction of the Mother Mary Grotto kept on progressing due to the kind charity funder who visit the sites regularly to find inspiration to decorate the grotto.
Other than the building, the mentors are prepared to take spiritual classes. At the same time Father Taruna Sayoga DP was officially became the staff mentor. The Spiritual Orientation Year is designed to have dual mentors so that one can be the alternative to the other. In fact, the two mentors are not only helpful to the seminarians but also helpful to the staff.


THE OPENING CEREMONY
After most of the preparation were finished and the house can be resided on June 1981, the first class of twenty seminarians entered Wisma Sanjaya. This is the new chapter of Diocesan education for the priest candidates in the Diocesan of Semarang.
It was planned, the opening ceremony would be held on 4th July 1981, as written on the stone plaque. But, that day was the day of the first fasting day for the Moslem's. Therefore, in order to respect them, the opening ceremony then was held one day before, 3rd July 1981. The following day, on the 4th July 1981, the Cardinal presented a mass at Wisma Sanjaya.
However, the 3rd of July 1981 was a historical day for the Cardinal. It was the day that he received a letter from Rome that give him permission to retire from being the bishop of the Archdiocesan of Semarang.

THE NEXT JOURNEY
After the ceremonial opening the Spiritual Orientation Year at Wisma Sanjaya started. The program for one year is a part of the St. Paul Major Seminary in Jogjakarta. The program is supported by the Sisters of Kongregasi Abdi Kristus. At first, the sister took turn to take care of the kitchen, then Sr. Philippa AK, was replaced by Sr. Antonia AK that worked side by side with Mrs. Sikep. On the 19th December 1995, Sr. Antonia AK received a new assignment in the community of Gedanganak, Ungaran. Sr. Francisca took her place to work to accompany Mrs. Sikep since December 1995. On September 2004, Sr. Borromea replaced Sr. Fransisca. Since then, the operational of Wisma Sanjaya has never had any problems.

The mentors of Wisma Sanjaya in sequence are:
- July 1983 : Father Siswata DP was replacing Father Taruna Sayoga DP who then assigned to work at Mertoyudan Seminary.
- January 1984 : Father Ign. Djonowarsono DP was replacing Father Siswanta DP who then assigned to work at Major Seminary in Jogjakarta.
- July 1990 : Father J. Pujasumarta DP, after prepared himself in the USA was replacing Father Natasusila DP who then became the Parish Priest in Pugeran, Jogjakarta
- September 1992 : Father Fl. Hartosubono DP was replacing Father Ign. Djonowarsono DP who then departed as the Rector of Major Seminary in Pematangsiantar, Sumatra.
- August 1995 : Father JCT Wismapranata DP was replacing Father Fl. Hartosubono DP who then pursuing education of spiritualism in Spokane, USA.
- August 1997: Fr. Fl. Hartosubono, after prepared himself in Spokane, USA was replacing Father J. Pujasumarta DP who then became the Rector of Major Seminary in Kentungan, Yogyakarta.
- August 1998: Father B. Bambang Sumintarto DP replace Father JCT . Wismaparanata DP.
- July 1999: Father R. Sugihartanto DP replace Father B. Bambang Sumintarto DP.
- August 2002: Father Albertus Priyambono DP was replacing Father R. Sugihartanto DP who then became the Parish Priest in Wonogiri.
- September 2003-Agust 2004: Father Sukandar DP live in Jangli.
- July 2004: Father M. Djoko Setya Prakosa DP and Fr. B. Irawan Heryuwono DP were replacing Father Al. Priyambono who then became the Parish Priest in Kebonarum, Klaten.
- December 2004: Father M. Djoko Setya Prakosa DP was replacing Fr. Fl. Hartosubono DP who then departed as the Rector of Major Seminary in Kentungan, Yogyakarta.
- July 2006: Father B. Edy Wiyanto DP was replacing Father B. Irawan Heryuwono DP who then became a local missionaries in Sorong.
- July 2008: Father C. Hadianta DP was replacing Father B. Edy Wiyanto who was later living in “Wisma Mahasiswa Semarang.
- June – July 2009: Fr. B. Irawan Heryuwono DP lived in Jangli for preparing his study of Spirituality in Philipines.
March - July 2010: After studying, he lived in Jangli again until having a new assignment as a director in the Spiritual Year of Malang.
- July 2010: Father Paulus Tri Wahyu Widiantoro DP was replacing Father C. Hadianta DP who was later becaming a parish priest in Mertoyudan Magelang.

In addition to the staff is Mr. Purnama who taught English for the seminarians and Sr. Brigid OSF. In 1994-1995, Sr. Rufina OSF was replacing Sr. Brigid OSF to teach English because Sr. Brigid had to take some time off to return to the US. In 1995-2008 Sr. Brigid taught English. In 2007-2008 Mr. Suratno helped to Sr. Brigid OSF to teach English. January 2010, Sr. Susan Ninfa CM was replacing Sr. Brigid OSF because of her problem in health.
At first, Wisma Sanjaya was built to educate the priests candidates for the High Diocesan of Semarang, but along the journey, the diocesan priest candidates from High Diocesan of Purwokerto were also admitted to Wisma Sanjaya as long as the number of rooms are enough to accommodate the seminarians.
Thus, the Spiritual Orientation Year at Wisma Sanjaya proceeds from twenty seminarians at first and followed by the next class year after year. Certainly, the numbers were never the same each year, sometimes more than twenty, sometimes less then twenty. Starting on July 1991, there were seminarians who went straight to Wisma Sanjaya from College or University without going through the education in Mertoyudan Seminary (Minor Seminary).

RATIONALE

RATIONALE
Etymologicalty "formation" means to lead, train, fashion, model, design, arrange, construct, make, create, put in order, give shape, to be a meaningful reality. When the concept is applied for a person, it means to direct, guide, and prepare him for a meaningful life. In other words, a formation program for the seminarians of the Spiritual Year is to help them to grow in all aspects of life and respond to God's invitation.
I realize that he has responsibility to nurture the seeds of vocation. The Second Vatican Council states clearly this responsibility:
"… students should be prepared by a special religious formation and, especially, by suitable spiritual direction, to follow Christ the Redeemer with generous souls and pure hearts. Their way of life should be fully in keeping with the standards of sound psychology and should include suitable experience of ordinary affairs of daily life, and contact with their own families". (Optatam Totius, No. 3)
Pastores Dabo Vobis affirms this statements:
'The Church look after these seeds of vocations sown in the hearts of children, … , providing a careful though preliminary discernment and accompa­niment. In a number of part of the world, these Seminaries continue to carry out a valuable educational work, the aim of which is to protect and develop the seeds of a priestly vocation, so that the students may more easily recognize it and be in a better position to respond". (Pastores Dabo Vobis, No. 63)
As a formator, I also realize that the seminarians are the young persons who have high ideals, and dynamism. In the other side, they are in the problematic age who need accompanist in their process of growth and problem-solving. This matter was strengthened by Pope John Paul II. He said:
'The young people in every generation, are still searching. Like the young man in the Gospel, they are searching for answers to basic questions, not only for the meaning of life, but for a concrete way to go about living it. That is the most fundamental characteristics of our young. We must help to discover that life has meaning only when they give it as a free gift to others, that is their vocation to love".
(Pope John Paul II, Crossing the-Threshold of Hope, 1995. pg. 122).

It is important that the formator accompany the young person on his journey of life and vocation not only by accepting and encouraging him, but more specially by "walking with" him as a companion. The understanding of the importance of the task of priestly formation has opened my heart. Enriched by the personal and communal life in many years in Seminary, I wish to respond to the demanding and important need of formation for the Sanjaya Spiritual Year. I agrees that the formation and education of the young seminarians today determine the future of the Church. Therefore, seminary formation plays a vital role in building the Church. In Pastores Dabo Vobis, Pope John Paul II states:
"The formation of the future priest, both diocesan and religious, and life long assiduous care fore their personal sanctification in the ministry and for the constant updating of their pastoral commitment are considered by the church as one of the most demanding and important tasks for the future of evangelization of humanity"
(Pastores Dabo Vobis, No. 2)Driven by his commitment to formation, I wish to share his experiences through this program and plan. I expect that this program and plan will be a help in the process of education. It is to help the formation for the Sanjaya Spiritual Year. Thank you.

Meditasi Matahari

Fr. Novi

Fr. Paulus

Fr. Wisnu

Fr. Prana

Fr. Yayan

Fr. Teo

Fr. Albert

Fr. Djoko

Fr. Bernard

Fr. Hendri

Fr. Riski

Fr. Sylvan